Pagi disaat itu indah . Matahari bersinar cerah menerpa pohon – pohon cemara yang tampak hijau daun. Warna – warni kemilau dedaunan di sekitar Gunung Sumbing tampak jelas dari kejauhan sehingga menambah kesejukan saat itu . Langit sangat cerah dan bersih , menjadi latar kegagahan Gunung Sumbing itu. Disuatu rumah yang beratapkan genting indah nan bersih , berukiran kayu yang menggambarkan suasana pedesaan , terdapat seorang anak yang sedang membantu ibunya mememasak dan bau masakannya menggundang orang yang menciumnya untuk mencoba mencicipinya. Ya, dia adalah Sri yang pandai sekali memasak. Sri adalah anak gadis dari Raden Mas Suryoadhi dan Sumini Adhidiningrat .Tak hanya Sri, mereka juga punya dua anak lainnya yaitu Diyah dan Mufid. Keluarganya terkenal kaya dan ramah terhadap orang, oleh karena itu banyak orang membalas kebaikannya dengan senyum dan apapun yang diminta oleh keluarga itu pasti ada orang yang ingin membantunya. Tapi semua mulai berubah dengan kematian ayah Sri, keluarganya menjadi tidak terpandang lagi karena sebagian harta – hartanya sudah dijual untuk membiayai kehidupan sehari – hari.
Sri sebagai anak pertama yang menjadi andalan keluarga itu. Sri sedang bersiap-siap untuk pergi meninggalkan kampungnya untk merantau ke Jakarta. Disamping kamarnya sang ibu menagis dan tak tega harus menggorbankan anak pertamanya untuk membiayai keluarga ini.
“ Sri, kamu ora opo-opo nyambut gawe neng Jakarta ?” (Sri kamu tidak apa-apa kalau nyari kerja di Jakarta ?) ibunya membuka pembicaraan.
“Ora opo-opo mbok rekane aku tinggal nang kos-kosane Diyah njok aku wes ditrimo kerjo nang restoran“. ( Tidak apa-apa bu, aku tinggal di kost-annya Diyah terus aku sudah diterima kerja di restoran). Diyah kini sedang berkuliah di Jakarta.
Tak panjang bicara antara keduanya , Sri langsung pergi meninggalkan ibu dan Mufid dengan isak tangis .
“Sri, kamu ati-ati nang Jakarta . Ojo aneh – aneh nang kono, Nek ono waktu bali yo, Mbok karo Mufid dongakke supoyo rekat oleh duit njok selamet nang kono. Yo wes ati-ati nang ndalan”. (Sri kamu hati-hati di Jakarta. Jangan aneh-aneh disana, kalau ada waktu pulang ya, Ibu dan Mufid doa kan supaya kamu cepat mendapatkan uang dan selamat disana. Ya sudah , hati-hati ya dijalan ). Kata Mbok kepada Sri.
“Mbak ati-ati, salam kanggo Mbak Diyah yo, njok oleh-olehe yo, hihihi………” (Mbak hati-hati , salam buat Mbak Diyah terus oleh-olehnya ya) kata Mufid sambil terus cengar-cengir membayangkan oleh-oleh apa yang akan dibawa Mbaknya kalau pulang nanti.
“Kamu aneh-aneh hae, mangkat hae durung wes njalok oleh-oleh”. (Kamu ini aneh-aneh saja, berangkat saja belum sudah minta oleh-oleh). Kata Sri sambil meninju lengan adik laki-lakinya.
“Aku mangkat ndisek ya Mbok, Assalam’ mualaikum”. (Aku berangkat dulu ya bu Assalam’ mualaikum). Kata Sri dengan senang hati karena akan mendapat pengalaman baru di kota yang terkenal denagn orang-orang suksesnya itu.
Sri pergi ke Jakarta dengan bis. Dia baru pertama kalinya pergi ke Jakarta sendiri, biasanya bersama dengan Mufid , tapi hanya sekedar menenggok Diyah saja. Tapi tak masalah bagi Sri karena Dia akan segera mendapatkan penghasilan dari kerjanya nanti dan keluarganya akan makmur lagi. Setelah seharian di bis , sampailah Dia di terminal bis. Disana sudah ada adiknya yang menjemput dan langsung mereka menuju ke kost-annya Diyah. Ditengah perjalanannya mereka melepas rindu dan banyak bercerita tentang si Mbok dan kekonyolan Mufid di kampung.
“Aku janji yah kalau aku sudah mendapat gaji nanti aku akan mengontrak”. Kata Sri pada adiknya sambil mengeluarkan barang-barang dari dalam tasnya.
“Ya Mbak tak masalah sebenarnya kalau Mbak tinggal disini, tapi ada syaratnya, Mbak harus bayarin uang kuliah dan makan aku tiap hari. Hihhihi ………..”. Kata Diyah
“Ya sudah pastilah Diyah, mau tinggal disini atau tidak kamu pasti aku bayarin,kan aku yang biayain kamu sekarang”. Kata Sri pada adiknya sambil memeluk adiknya dengan rasa sayang.
“Terima kasih Mbak”. Kata Diyah membalas pelukan Mbaknya.
Hari pertama kerja Sri dimulai, di angkutan kota Sri melihat ada pemuda yang sedang menunggu di halte. Dan pemuda itu menaiki angkutan yang dinaiki Sri juga, sambil sesekali melirik kearah Sri. Awalnya Sri tak sadar tapi lirikannya membuat Sri tak biasa. Setelah kira-kira kurang lebih 20 menit di angkutan kota, Sri tiba di tempat kerjanya yang baru.
“Stop pak !”. Kata Sri sambil turun dan memberi uang kepada supir angkutan.
“Tak usah bayar ! biar aku yang bayar, ini pak uangnya”. Kata suara laki-laki yang tak dikenal.
“Ha ! tak usah repot mas, aku ada uang kok”. Kata Sri sambil menenggok ke arah datangnya suara itu dan ternyata suara itu adalah suara pemuda yang sedari tadi meliriknya di angkutan
“Tak apa Neng “. Kata pemuda sambil pergi menjauh dari angkutan yang tanpa disadari diikuti Sri.
Setelah dijelaskan apa maksudnya , ternyata pemuda itu adalah atasannya Sri tempat kerjanya yang baru. Dia melirik ke arah Sri karena Dia yang telah mengizinkan Sri kerja di restoran ini. Pemuda itu adalah Asep, yang berasal dari daerah Sunda , yang pekerjaanya dibagian Personalia.
Dari awal perkenalan itu, Sri dan Asep menjadi akrab tanpa disadari mereka telah menjalin hubungan cinta. Dan mereka telah memutuskan untuk menikah. Tapi setelah persetujuan dari si Mbok. Dari keluarga Asep mengizinkannya. Sri bercerita kepada Diyah tentang semua hal yang menyangkut Asep dan masalahnya dengan menikah itu..
“Aku yakin kalau si Mbok mendengar kamu menikah dengan orang yang berasal dari Sunda pasti marah ?” . Kata Diyah setelah mendengar semuanya.
“Memang kenapa Yah, memangnya tak boleh, Dia muslim kok. Dia juga baik “. Balas Sri
“Bukan itu masalahnya,Mbok pernah bilang kepada kita kalau cari suami harus yang berasal dari daerah Jawa juga”. Diyah menjelaskan.
“Lho ! bukannya Sunda juga Jawa ya ?”. Sri menyangkal.
“Ya ampun Mbak emang lupa ya kata si Mbok ? Si Mbok kan pernah bilang katanya kalau kita mendapatkan orang Sunda , pasti orangnya itu suka foya-foya terus suka ganti-ganti istri”. Diyah menambahkan .
“Tapi Dia beda Yah, aku sudah tahu latar belakangnya keluarganya, ya sudahlah tak usah bahas jadi emosi gini. Besok aku ingin menemui Mbok di Jawa bersama si Asep kamu mau ikut tidak ? Selagi besok libur kuliah”. Sri mengajak adiknya ke Jawa untuk membicarakan masalah ini kepada si Mboknya.
“Ya aku ikut saja, lagi pula aku rindu sama Mbok dan Mufid, ayo kemas-kemas dulu Mbak “. Kata Diyah sambil menuju kamarnya untuk menyiapkan barang-barangnya .
Setelah seharian di perjalanan , mereka bertiga sampai dengan selamat di rumah si Mbok. Mbok terkejut dengan kedatangan mereka karena secara mendadak pulang kerumah tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu.
“Assalam’mualaikum Mbok !!”. Kata Diyah dan Sri sambil memeluk si Mboknya di ikuti Asep yang hanya cium tangan saja.
“Ya Allah, ono opo sampeyang podo bali koyo ngene? Mbok ora loro o , Mbok waras-waras hae, njok cah lanang kiye sopo?” .( Ya Allah, ada apa ini kok kamu pada pulang gini ? Mbok tidak sakit, Mbok sehat-sehat saja, terus laki-laki ini siapa? ). Kata Mbok sambil memperhatikan kedua anaknya beserta si Asep.
“Lenggah ndisek Mbok, ra penak koyo ngene, iki pacarku Mbok seko Jakarta, iki bos ku nang restoran kono”. ( Dudu dulu Mbok, tidak enak seperti ini, ini pacarku dari Jakarta, ini bos ku di restoran sana). Sri menjelaskan.
“Ooo, sampeyang ora omong nek wes due pacar, Mbok ra ngerti. Jenengmu sopo Nduk?”. (Oh, kamu tidak bilang kalau sudah punya pacar, Mbok tidak tahu. Siapa namamu Nak? ). Kata si Mbok sambil membuka percakapan dengan Asep.
“Jenang, aku tidak membawa jenang bu, …”. Kata Asep binggung.
“Jeneng dudu jenang, nek jenang to enak, halah-halah ra ngerti, cah endhi toh sampeyang?”. ( Nama bukan dodol, kalau dodol enak, kok tidak mengerti, memang asalnya dari mana sih?) . Kata si Mbok.
“Wong Sunda Mbok, aku kenal nang restoran “. (Orang Sunda Mbok, aku kenal di restoran) Tambah Sri yang mencoba menjelaskan kepada Mbok.
Singkat cerita mereka berbincang-bincang seperti halnya keluarga yang baru saja ada tamu baru. Asalnya dari mana? Kerja apa kamu? Rumahmu dimana? Masih hal sewajarnya . Tapi, setelah Sri menceritakan keinginannya menikah dengan Asep, Si Mbok nampaknya terlihat kesal bercampur bingung harus bagaimana. Karena Dia tidak menginginkan anaknya mendapatkan suami yang berasal dari daerah Sunda. Si Mbok berulang kali bilang supaya Sri tidak jadi nikah , tapi Dia menolak perkataan ibunya.
“Ora Mbok, aku arep nikah karo Asep, aku wes tresno. Oleh ya Mbok?”. (Tidak Mbok, aku ingin nikah dengan Asep, aku sudah cinta . Boleh ya Mbok?) Kata Sri berusaha merayu si Mbok.
“Yo wes lah, aku wes kesel omong karo sampeyang, tak ijinake, nek ono opo-opo nang omah tangga sampeyang Mbok ra tanggung lo..”. (Ya sudahlah aku sudah capek bicara sama kamu, aku izinkan tapi kalau ada apa-apa di rumah tangga kamu, Mbok tidak tanggung jawab). Kata Mbok membolehkan anaknya.
Sejak hari itu , hubungan Mbok dan Asep tampak akrab tapi masih binggung antara bahasa yang digunakan oleh mereka. Si Mbok memakai bahasa Jawa sedangkan si Asep memakai bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Oleh karena itu harus ada yang mendampingi mereka kalau salah satunya ingin berbincang-bincang seperti Sri, Diyah, dan Mufid. Mereka bertiga bersedia menerjemahkan apa yang tidak mereka tahu tentang bahasa yang di gunakan oleh Mbok dan Asep. Ternyata tak hanya keluarganya Sri saja yang tak mengerti bahasa Indonesia tapi keluarganya Asep juga. Asep menerjemahkan ke bahasa Sunda lagi jika diantara keluarganya Sri yang ingin berbincang-bincang.
Begitu sulitnya menyesuaikan antara bahasa daerah yang satu dengan bahasa daerah yang lain. Oleh karena itu harus ada bahasa Indonesia yang menjadi penengah di antardaerah, di manapun kita berada selama masih di Negara Indonesia. Banyak di daerah-daerah masih terpaku terhadap bahasa daerahnya, hal ini menurut saya dapat membuat perpecahan di Indonesia. Nyatanya ,sejak pemerintahan Presiden Soekarno bahasa Indonesia adalah Bahasa Nasional Indonesia. Seperti pada bunyi Sumpah Pemuda “Kami Putra Putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan,bahasa Indonesia”. Hal ini menjadi janji para pemuda terdahulu untuk lebih menjunjung tinggi derajat dan martabat bangsa Indonesia dalam masalah pemakaian bahasa Indonesia. Marilah kita sebagai pemuda di zaman sekarang meneruskan perjuangan pemuda terdahulu untuk menjunjung tinggi bahasa persatuan Indonesia.
Karya : Putri Nurul Bintari
0 comments:
Post a Comment